Ayahnya, Tubagus
Sayidah, adalah pemimpin Pesantren Salafiyah Sempur. Di samping sebagai
ulama, ayahnya juga dikenal sebagai pejuang yang gigih melawan
pemerintah kolonial. Layaknya keturunan kiai, pendidikan awal Ahmad
Bakri diperolehnya dari ayahnya. Melalui ayahnya, ia mengenal cara
membaca al-Qur’an dan ilmu dasar keislaman.
Setelah merasa cukup
mendidiknya, ayahnya kemudian mengirim Ahmad Bakri ke Mekah. Pada waktu
itu, tradisi belajar ke Timur Tengah sangat lazim di kalangan kiai
tradisional. Di Mekah ia belajar tafsir kepada Sayyid Ahmad Dahlan,
salah seorang ulama besar yang mengajarkan Islam Madzhab Syafi’i. Di
sana, ia juga belajar pada ulama Nusantara yang menetap di Mekah, yaitu
Syekh Nawawi Banten dan Syekh Mahfudz Termas. Khususnya kepada Syekh
Nawawi Banten, Ahmad Bakri belajar fikih.
Demikanlah, KH Bakri
mendalami pengetahuan agamanya dengan berguru kepada dua ulama Nusantara
yang begitu terkenal. Dalam keyakinan pelajar jawa bahwa mereka akan
dianggap menyempurnakan pelajaran apabila mendapat bimbingan terakhir
dari ulama kenamaan kelahiran Jawa (Zamahsyari, 1981).
Setelah pulang ke tanah
air, Kiai Ahmad Bakri mendirikan sebuah pesantren di Darangdang, Desa
Sempur, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Pesantren ini dinilai
sebagai pesantren tertua di daerah tersebut. Demikianlah untuk
selanjutnya ia mengelola pondok pesantren dan menjadi guru penyebar
Tarekat Naqsabandiyah di daerah tersebut.
Pemikirannya
Untuk mengungkap
pemikirannya kita dapat melacak sejumlah catatan kecil yang ditulisnya,
ceramah-ceramah serta kandungan kitab yang ditulisnya.
Dalam Cempaka Dilaga,
misalnya, KH Ahmad Bakri menjelaskan beberapa prinsip hidup yang harus
dilakoni oleh umat Islam. Yaitu keharusan berbuat baik terhadap tetangga
agar kita dapat hidup di dunia dengan aman, terutama aman dalam ibadah
dan mengabdi kepada Allah.
Di bagian lain kitab
ini, ia berpendapat bahwa seorang muslim hendaknya patuh dan menaati
pemerintah — bahkan terhadap pemerintah yang lalim sekalipun selama
pemerintah tidak memerintahkan rakyatnya untuk menyalahi perintah Allah
atau melarang untuk berbakti kepada Allah SWT.
Selain itu, Ahmad Bakri
menjelaskan bahwa dalam mengambil seorang muslim hendaknya pada
prinsip-prinsip Ushul Fikih. Misalnya ketika seseorang dihadapkan pada
dua pilihan yang tidak dapat dihindari, maka menurutnya orang tersebut
hendaknya memilih perbuatan yang paling sedikit mudaratnyd (akhaf
al-dlaruryn). Ia juga menganjurkan agar seseorang mendahulukan untuk
menolak mafsadat daripada melakukan pekerjaan yang mendatangkan manfaat.
Menurutnya, menghindari mafsadah lebih utama ketimbang mencari manfaat.
KH Ahmad Bakri juga
memperbincangkan perilaku manusia yang sangat mendasar, yaitu makan.
Menurutnya, makan merupakan kewajiban, dan oleh karenanya makan termasuk
bagian dari ajaran agama Islam. Karena makan merupakan salah sendi yang
dapat menguatkan manusia dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.
dan melakukan perintah-perintah-Nya.
Lebih lanjut KH Ahmad
Bakri menjelaskan bahwa seseorang sejatinya mengetahui etika makan.
Dengan demikian, seseorang dapat mencapai manfaat makan sehingga makan
dapat dinilai sebagai ibadah.
Ahmad Bakri termasuk
ulama yang tidak sepakat dengan ajaran Wahabi yang berkembang di Mekah.
Bahkan ia menilai bahwa Muhammad Abdul Wahab, pendiri Wahabi, adalah
musuh Rasulullah Saw. Ketidaksepakatan terhadap ajaran tersebut
dituangkannya dalarn sebuah bukunya yang berjudul Idhah al-Kardtiniyah
fi Ma Yata’allaqu bi Dhalat al-Wahabiyah.
Selain itu, Ahmad Bakri
juga menyinggung persoalan pendidikan. Sebagaimana di ketahui, ia hidup
pada masa peperangan dan pada saat itu banyak orang yang ikut berperang
melawan penjajah. Disinilah ia menangkap realitas di mana pendidikan
begitu terabaikan. Menyikapi kenyataan ini, ia menyatakan perlunya
sebagian orang untuk tetap memperhatikan pendidikan dan tidak ikut
berperang. Untuk mengukuhkan pendapatnya, ia mengutip ayat al-Qur’an,
khususnya surat At-Taubah ayat 22.
Meskipun Ahmad Bakri
tidak terlibat langsung dalam kancah politik, namun
pandangangan-pandangan dan pilihan politiknya diikuti oleh masyarakat
setempat. Ia bukanlah tipe propagandis yang kerap memaksakan pendapatnya
kepada orang lain. Alih-alih memaksakan keinginannya, malah ia
memberikan kebebasan kepada para santrinya untuk menentukan sikap
politiknya.
Demikianlah gambaran
singkat tentang sosok yang relatif moderat dalam menyikapi persoalan.
Hanyalah sosok yang matang secara intelektual dan emosional-lah yang
mampu menampilkan sikap moderat. Dan KH. Tubagus Ahmad Bakirlah yang
memiliki kematangan intelektual dan emosional sekaligus. Beliau
meninggal pada malam Senin, 1 Desember 1975 M bertepatan dengan tanggal
27 Dzu al-Qa’dah 1395 H.